Minggu, 02 Mei 2010

KESEMPURNAAN KEHIDUPAN ADALAH DAKWAH

Mari kita berhenti sejenak… Kita tengok kembali sejarah kehadiran kita sebelum dilahirkan di muka bumi ini. Allah SWT. berfirman dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Setelah itu, untuk memastikan kesetiaan Khalifah yang akan diutus-Nya, Dia pun mengambil kesaksian (perjanjian), yang dengan kesaksian ini kelak ia (manusia) tidak bisa mengingkari kelalaiannya yang menyimpang dari tujuan kehadirannya di muka bumi ini (sebagai Khalifah). Allah SWT. berfirman dalam Qur’an surat Al A’raaf ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Namun, tidak semua manusia yang lahir ke permukaan bumi ini yang menepati janjinya kepada Penciptanya. Allah SWT. berfirman dalam Qur’an surat Al Ahzab 23: Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).
Ketahuilah inti dari kekhalifahan itu diawali dengan “aqidah”, yang disimbolisasikan dengan “ibadah”, kemudian diaktualisasikan dengan “dakwah”. Menengok sejarah prinsip pembentukan pribadi seorang Nabi SAW. dimulai dengan mensucikan diri dalam “ketauhidan”, meningkatkan keimanan dalam “peribadahan”, dan menyempurnakan kehidupan dengan “seruan” (dakwah). Hal ini dapat kita simak dalam sejarah turunnya Qur’an yang diawali dengan perintah Iqro’ bismirobbikalladzii khalaq (tauhid) dalam QS Al ‘Alaq, dilanjutkan dengan Qumil laila illa qoliilaa (ibadah) dalam QS Al Muzammil, dan disempurnakan dengan Qum fa andzir (dakwah) dalam QS Al Mudatstsir. Jadi, inti atau puncak kesempurnaan dari agama ini adalah dakwah. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Ali Imran 104: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Dan dengan dakwah itu ia akan menjadi sebaik-baik manusia yang membuktikan keimanannya pada Allah SWT., dengan dakwah di jalannya. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Ali Imran 110: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…
Kita baru bisa dimasukkan dalam golongan umat yang terbaik jika kita telah menyempurnakan keislaman kita dengan dakwah. Menyampaikan, mengajarkan mengajak, dan memerintahkan yang makruf adalah dakwah. Begitu juga mencegah, menolak, memerangi, dan merubah yang munkar adalah dakwah. Dan dakwah itulah jalan para pejuang yang mulia dan terhormat.
Sedangkan dalam dakwah itu sendiri memiliki tahapan (mihwar) yang menjadi target dan ukuran pencapaian yang perlu dirumuskan dan dilalui. Karena dengan dakwah itu kita tidak ingin hanya melakukan sebuah perubahan atau pembangunan yang kecil, kita ingin membangun sebuah “Peradaban” yang mendunia. Yaitu Peradaban Islam yang menyemai seluruh kehendak-kehendak Allah (syari’at) dalam kehidupan kita sebagai individu, masyarakat, negara, dan dunia. Sebagai sebuah tugas kekhalifahan penciptaan manusia di muka bumi.
Tujuan dakwah yang begitu besar itu memang terlalu besar dari sekedar bayangan di otak kecil kita yang gentar memiliki cita-cita besar. Sehingga tidak mudah untuk mencapainya. Baik dalam takaran waktu yang lama maupun batasan wilayah begitu luas. Ia terlihat dan terasa begitu sulit. Maka, diperlukan tahapan untuk menyelesaikan pekerjaan besar ini. Dan itu haruslah dimulai dari hal yang kecil yang diperbesar sesuai takaran pencapaian yang mampu dikerjakan. Karena dakwah ini harus terus berjalan berkelanjutan tanpa terpatok pada ukuran batasan usia manusia yang pendek. Bisa jadi sepanjang kehidupan dakwah kita, satu tahapanpun belum mampu kita selesaikan. Namun, yakinlah bahwa semua akan terus berjalan, karena Islam adalah masa depan.
Dalam banyak riset dan pendapat, rumusan pekerjaan besar ini harus dilakukan dalam empat tahapan (akan dijelaskan berikutnya). Namun, tentu saja hal ini tidak lepas dari prinsip ta’rif, takwin, dan tanfizh. Dalam prinsip ini ada tujuh tahapan pembangunan peradaban di muka bumi ini, diawali dengan langkah pertama: pembentukan pribadi yang shaleh secara utuh. Langkah kedua: membentuk keluarga muslim dalam seluruh aspeknya. Langkah ketiga: membangun bangsa yang muslim dengan segala ciri khasnya. Langkah keempat: menegakkan pemerintahan muslim dengan segala keunikannya. Langkah kelima: bergabungnya seluruh tanah air Islam yang sudah dicabik-cabik penjajah ke dalam satu kesatuan pemerintahan Islam. Langkah keenam: berkibarnya bendera Islam di tatanan dunia internasional. Langkah ketujuh: penegasan sekali lagi bahwa Islam menawarkan dakwahnya ke seluruh manusia sebagai pengendali peradaban dunia (ustadziatul alam).
Sedangkan empat tahap (mihwar) pada penjelasan berikut ini adalah aplikasi penerapannya dalam sistem pergerakan yang tertata.
Tahap pertama adalah mihwar tanzhimi. Setelah membentuk pribadi muslim, kemudian mengumpulkan pribadi-pribadi muslim itu dalam satu pergerakan (harokah) yang terorganisir. Organisasi ini adalah tulang punggung dakwah. oleh karena itu, ia harus kuat memikul beban dalam waktu yang panjang. Maka harus diisi oleh orang orang yang memiliki kematangan kepribadian yang tangguh. Sebab, merekalah yang disebut sebagai pemimpin (khalifah) umat yang menjadi lokomotif dakwah.
Kedua, membangun basis sosial yang luas dan merata sebagai kekuatan pendukung dakwah. Inilah yang disebut sebagai mihwar sya’bi. Kalau tahapan pertama bersifat eksklusif, tahapan kedua bersifat inklusif. Kalau tanzhim dibentuk hanya dengan rekruitmen dan pengkaderan. Tahapan yang kedua ditambah dengan opini piblik dan pelayanan pada umat. Dengan demikian, maka barisan pendukung kebenaran akan menjadi luas dan kuat secara kuantitas.
Ketiga, membangun institusi yang mewadahi pekerjaan-pekerjaan dakwah dalam takaran yang lebih legal dan kuat secara strategis (politik). Tahapan ini disebut mihwar muassasi. Ia mengaktualisasikan dukungan dalam bentuk kekuatan yang lebih besar, legal, dan formal. Sehingga kejelasan target kerja dapat menyentuh ranah yang lebih luas, kuat dan yang paling penting diakui secara nasional maupun internasional. Kalau pada tahap kedua, kita hanya berusaha mensosialisasikan Islam di masyarakat, yang hal ini dilakukan dengan penguasaan horizontal. Tahap ketiga kita berusaha menegakkan kehendak Allah dengan kekuatan vertikal (pemerintahan). Sehingga kader-kader dakwah harus mampu mengisi struktur lembaga tinggi negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selain itu, juga pada lembaga-lembaga ilmiah, ekonomi, sosial, dan militer.
Tahap keempat, akhirnya dakwah harus sampai pada tingkat institusi negara. Tahapan ini disebut sebagai mihwar daulah/ dauli. Sebab, institusi negara dibutuhkan dakwah untuk merealisasikan secara legal dan kuat seluruh kehendak Allah SWT. Namun, sekali lagi harus kita ingat, negara bukanlah tujuan, ia hanyalah sebuah sarana. Dengan negara, kita akan memiliki kekuatan yang terbesar dalam tatanan masyarakat untuk menyemai kehendak-kehendak Allah SWT. Sebab, kebenaran harus punya negara, karena kebatilanpun punya negara (kata Ibnu Qayyim).
Maka, sempurnalah tugas kekhalifahan kita diutus di muka bumi. Walaupun urusan hasil kerja kembali pada Allah. kita sudah berkontribusi semaksimal mungkin bertanggungjawab menyelesaikan amanah kita sebagai manusia. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NO SARA!!